Kamis, 03 Maret 2011

PENTING MANA DUNIA ataukah AKHIRAT (3)

by : Agus mustofa


~ MEMENTINGKAN AKHIRAT TIDAK AKAN KEHILANGAN DUNIA ~

’Kebetulan’ hari ini saya membaca tulisan opini di koran Jawa Pos, yang membahas tentang ’penting mana dunia dan akhirat’. Tulisan berjudul ’Amal Dunia dan Amal Ukhrawi’ itu ditulis oleh Salahudin Wahid, salah seorang pemikir Islam yang kebetulan adik Gus Dur. Ia mencoba mengritisi tulisan sebelumnya di koran yang sama, yang diwacanakan oleh budayawan nasional yang sekaligus pemikir Islam lainya, Gus Mus.

Beberapa hari yang lalu, Gus Mus menulis wacana, yang intinya kurang lebih mengatakan adanya penyimpangan mindset dalam diri bangsa ini. Kenapa korupsi merajalela dimana-mana, kenapa perselingkuhan menjadi hal yang biasa, kenapa rebutan kekuasaan menjadi berita sehari-hari, dan kenapa berbagai tindak kejahatan semakin hari semakin lazim terjadi? Gus Mus berpendapat: karena sebagian besar kita salah menata mindset alias cara berpikir. Kita tidak lagi memandang akhirat sebagai tujuan hidup utama, melainkan terjebak dengan mematok ’kesenangan’ dunia belaka.

Lantas, Salahudin Wahid memberikan tanggapan dengan cara yang berbeda. Meskipun, menurut saya tidak frontal berseberangan. Bahwa, semua kejahatan itu terjadi, karena kebanyakan kita terjebak pada godaan 3 Ta ~ harTa, tahTa dan waniTa. Sehingga muncul berbagai kejahatan yang merusak. Karena itu, negara dan bangsa ini harus memiliki sistem manajemen kemasyarakatan yang kuat untuk mengendalikan euforia keduniawiaan. Diantaranya, penegakan hukum yang bersih dan berwibawa. Tapi sayangnya, katanya, para penegak hukum sendiri pun ternyata terjebak pada 3 Ta, sehingga karut marutlah yang terjadi di sekitar kita... :(

Saya tidak ingin membahas lebih lanjut wacana kedua tokoh pemikir Islam itu disini. Saya cuma ingin menunjukkan adanya ’kebetulan’, bahwa ternyata ada kesamaan ’keprihatinan’ yang muncul dalam benak kita. Sebuah keprihatinan yang juga disuarakan oleh al Qur’an. Bahwa, kebanyakan manusia terjebak ke dalam euforia kesenangan dunia, ketika mindset tidak ditata secara benar dalam menyikapinya.

QS. Al An’aam (6): 70
... mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Ingatkanlah (mereka) dengan Al Qur'an agar masing-masing diri tidak terjerumus ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri...

Kalau Anda membaca al Qur’an lebih jauh, Anda akan mendapati begitu banyaknya ayat-ayat yang menyuarakan keprihatinan seperti ini, dan kemudian mengingatkan kita. Sebuah ’kekhawatiran’ yang sebenarnya tidak berlebih-lebihan, karena sudah demikian banyak bukti yang terjadi. Lupa akhirat, karena disibukkan oleh urusan dunia. Dan akhirnya lupa diri, tiba-tiba kematian sudah di depan mata.

QS. At Takatsur (102): 1-2
Bermegah-megahan (dengan dunia) telah melalaikan kamu, sampai kamu (menjelang) masuk kubur...

Kalau kita mau jernih memandang persoalan ini, sebenarnya apa yang diajarkan oleh al Qur’an sangatlah logis dan rasional. Allah sama sekali tidak menyuruh kita mengejar akhirat dengan cara meninggalkan dunia. Oh, bukan begitu kan ajarannya? Yang diajarkan Allah kepada kita cuma: ’’carilah kebahagiaan AKHIRAT, dan jangan LUPAKAN dunia..!’’

QS. Al Qashash (28): 77
Dan carilah pada segala anugerah yang telah diberikan Allah kepadamu (orientasi) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan duniamu dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu...

Inilah visi menejemen kehidupan yang sempurna..! Menempatkan akhirat secara proporsional sebagai tujuan, dan menjadikan dunia secara proporsional sebagai ’jalan’. Dari segi urutan waktu, akhirat memang berada setelah dunia. Karena itu, ia layak dijadikan TUJUAN. Sedangkan dunia hanyalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan. Karena itu, jangan sampai terjebak di jalanan, bisa-bisa tidak sampai ke tujuan. Lha wong, dari Surabaya mau ke Jakarta, kok leyeh-leyeh di Semarang terlalu lama. Tentu saja, sampai waktunya habis, ia tidak akan sampai di Jakarta... :(

Sebagian kawan begitu khawatirnya kehilangan dunia. Sehingga ketika ditanya: penting mana dunia dan akhirat? Ragu-ragu untuk menjawab: Akhirat. Sebagian lagi, juga ragu-ragu, karena khawatir kalau menjawab ’akhirat’, jangan-jangan akan membuatnya ’lupa dunia’. Padahal itu tidak mungkin.

Kita tidak akan kehilangan dunia, gara-gara menjadikan akhirat sebagai tujuan hidup. Lha wong untuk memeroleh kebahagiaan akhirat itu kita harus memeroleh dunia dulu. Dunia adalah modal untuk menggapai akhirat. Tapi tidak selalu bersifat material. Karena itu perhatikanlah ayat di atas, bahwa untuk mencari kebahagiaan akhirat kita justru harus memanfaatkan segala anugerah Allah di dunia ini: ’’Dan carilah pada segala anugerah yang telah diberikan Allah kepadamu (orientasi) negeri akhirat...’’

Kita dianugerahi rezeki, maka dengan rezeki itulah kita mencari kebahagiaan akhirat, banyak-banyak beramal jariyah. Kita dianugerahi ilmu, maka dengan ilmu itulah kita mencari orientasi akhirat dengan menebarkan manfaat. Kita dianugerahi kekuasaan, maka dengan kekuasaan itu pula kita mencari nilai-nilai yang mengantarkan hidup kita jadi berkualitas akhirat. Segala anugerah itu memang terkait dengan kerja keras kita, tetapi jangan sampai terjebak pada orientasi dunia yang bersifat jangka pendek belaka.

Orang-orang yang bekerja keras sambil mengorientasikan hidupnya untuk negeri Akhirat, akan dimuliakan Allah di dunia dengan banyak anugerah. Dia banyak menolong orang lain dengan rezekinya, maka Allah akan menambahkan barokah pada rezekinya. Dia banyak memintarkan orang lain dengan ilmunya, maka Allah akan menambahkan limpahan ilmu kepadanya. Dia banyak memberikan kemaslahatan dengan kekuasaannya, maka Allah akan menjadikan ’kerajaan’ yang besar dan mulia kepadanya di dunia dan di akhirat..!

Sebaliknya, kalau mindset kita sudah mengatakan ’penting dunia’, maka segala kerja keras kita akan menghabiskan energi hanya untuk mencari kesenangan dunia sebanyak-banyaknya. Sampai tiba-tiba kita menjadi lupa orientasi akhirat. Contohnya sudah bejibun banyaknya. Bahkan dalam skala tertentu, juga sudah terjadi pada diri kita..!

Cobalah bertanya kepada diri sendiri: berapa banyak energi yang Anda keluarkan setiap hari untuk berusaha menggapai akhirat? Sebutlah jumlah waktu saja. Misalnya, dalam 24 jam sehari semalam, berapa jamkah Anda mengalokasikan waktu Anda untuk akhirat?

Tidur yang sekitar 8 jam itu, apakah sudah berorientasi akhirat? Bekerja mencari rezeki, yang minimal sekitar 8 jam itu, apakah juga sudah berorientasi akhirat? Makan, yang kadang-kadang juga berjam-jam sambil wisata kuliner itu, apakah sudah berorientasi akhirat? Berumah tangga, bermasyarakat, berpolitik, belajar dan mengajar, dan apa saja yang kita lakukan, apakah sudah berorientasi akhirat?

Jangan-jangan 24 jam waktu kita, tenyata baru berorientasi dunia. Lupa akhirat. Tidurnya, ingin bernikmat-nikmat sampai lupa segala. Bekerjanya karena ingin menumpuk harta benda, seakan-akan itu akan memberikan kebahagiaan yang tiada batasnya. Berumah tangganya, hanya karena orientasi fisikal belaka, belajar mengajarnya hanya untuk berbangga-bangga, dan semua aktifitasnya berorientasi jangka pendek semua. Oh, betapa sayangnya..!

Padahal dengan aktifitas yang sama, kita bisa memeroleh nilai akhirat tanpa harus kehilangan nikmatnya dunia. Tidur, kita niatkan sebagai ibadah agar badan kita istirahat secukupnya, sehingga setelahnya bisa beraktifitas kembali untuk memberikan manfaat. Makan, kita niatkan ibadah agar tubuh memperoleh gizi secukupnya dan kuat bekerja, bukan untuk hura-hura sampai lupa segala. Bekerja, kita niatkan ibadah untuk memperoleh rezeki bagi keluarga dan siapa saja yang menjadi tanggungan kita. Bertemu sahabat kita niatkan ibadah, berdiskusi, belajar dan mengajar, berpolitik, berbudaya, dan apa saja aktifitas kita dalam hidup ini kita niatkan sebagai ibadah untuk mencari jalan mendekatkan diri kepada-Nya. Yang ada dalam benak kita bukanlah dunia, melainkan AKHIRAT, akhirat, dan akhirat..!

Jika tidak, maka kata Allah, jangan menyesal kalau tiba-tiba usia kita sudah habis. Dan tidak menemukan apa-apa di dunia ini meskipun sudah behasil mengumpulkan segala fasilitasnya. Celakanya, kita lantas masuk liang kubur meninggalkan semuanya. Dan di fase kehidupan berikutnya, kita tidak memiliki ’tabungan akhirat’, yang layak kita jadikan bekal dalam kehidupan yang sepenuhnya masih belum kita mengerti.

Persis penyesalan orang yang diceritakan oleh ayat berikut ini. Yakni, ketika dia meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia, setelah dia berada di alam barzakh..! Sebuah penyesalan yang terlambat datang, karena ia tidak mungkin hidup kembali untuk memperbaiki kesalahannya.

QS. Mukminuun (23): 99-100
(Demikianlah keadaannya), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku beramal kebajikan terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak (bisa). Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.

Dan lebih celaka lagi, ketika kelak datang hari pengadilan. Allah ’melupakan’ mereka, dikarenakan dia juga melupakan Allah selama aktifitasnya di dunia. Hidupnya bukan diorientasikan kepada kehidupan akhirat, melainkan terjebak pada euforia dunia yang semu dan menipu. Bukan karena Allah tidak sayang kepada kita, tetapi justru kitalah yang tidak sayang kepada diri sendiri..!

QS. Al A’raaf (7): 51
... kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (karena) mereka tidak mengikuti (petunjuk) ayat-ayat Kami...


Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

PENTING MANA DUNIA ataukah AKHIRAT (2)

  by : Agus Mustofa

                 ~ KITA SUDAH BERADA DI DALAM AKHIRAT ~


Dimanakah kita sekarang berada? Di dunia ataukah di akhirat? Tentu saja di DUNIA. Lantas, dimanakah akhirat? Alam akhirat sudah MELIPUTI dunia ini. Hahh, berarti dunia ini di dalam akhirat? Begitulah agaknya..!

Akhirat dan dunia memang telah diciptakan Allah satu paket, secara bersamaan. Ada tujuh lapisan langit yang diciptakan Allah. Langit paling rendah adalah DUNIA, sedangkan langit paling tinggi adalah AKHIRAT. Semuanya sekarang sudah ada, dengan struktur: langit yang lebih rendah diliputi oleh langit yang lebih tinggi. Bagaimana ceritanya, kok bisa muncul kesimpulan demikian? Marilah kita pahami beberapa alasan berikut ini:

1. Allah menyebutkan di dalam al Qur’an bahwa langit diciptakan bertingkat dan berlapis-lapis sejak semula.
QS. Al Mulk (67): 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang...

2. Langit adalah ruang angkasa yang ada ’diatas’ Bumi. Karena planet Bumi berbentuk bola, maka langit yang ada ’diatasnya’ pun jadi berbentuk bola. Yakni, seluruh ruang alam semesta yang meliputi bumi. Sehingga kalau ada tujuh langit bertingkat, berarti secara sederhana kita bisa membayangkan struktur langit itu mirip sebuah bola di dalam bola yang lebih besar di dalam bola yang lebih besar lagi sampai tujuh kali. Memang, ini hanya sebuah simplifikasi alias penyederhanaan saja dari struktur langit. Pembahasan lebih detil, secara teori dimensi, bisa Anda baca di dalam buku serial ke-3: ’Terpesona di Sidratul Muntaha’.
3. Langit dunia, kata al Qur’an, adalah seluruh ruangan yang berisi bintang-bintang. Dengan kata lain, sejauh ruangan angkasa itu masih terisi bintang, maka ia masih disebut sebagai langit dunia. Selebihnya, lapisan-lapisan langit yang lebih tinggi sudah tidak berisi benda-benda angkasa sebagaimana yang kita pahami dengan mata awam ini. Sudah berbeda dimensi.
QS. Ash Shaaffaat (37): 6
Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.

4. Setiap lapisan langit memiliki dimensi yang berbeda. Semakin keatas, semakin tinggi dimensinya. Dan dari setiap langit yang dimensinya berbeda itu, isi alam semesta akan kelihatan berbeda. Hal itu diceritakan Allah di dalam al Qur’an, bahwa karena langit ini berlapis tujuh, maka bumi yang kita tempati ini pun menjadi seperti ada tujuh ’penampakan’. Bukan planet buminya yang berjumlah tujuh, melainkan  sudut pandangnya yang tujuh.
Bumi dilihat dari langit pertama berbeda dengan dilihat dari langit kedua. Berbeda pula dilihat dari langit ketiga, dan seterusnya. Sampai langit ketujuh. Karena itu, dalam ayat berikut ini, meskipun Allah menggunakan kata jamak untuk langit ~ samawati ~ tetapi tetap menggunakan kata tunggal untuk bumi, ardhi. Ini menunjukkan bahwa jumlah Bumi di alam semesta ini memang hanya satu. Sekaligus, ini mematahkan pendapat tentang keberadaan bumi lain selain yang kita tempati.

QS. Ath Thalaaq (65): 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit (samawati) dan seperti itu pula bumi (ardhi). Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.

5. Alam akhirat ternyata sudah ada, yakni di puncak langit yang dinamakan Sidratul Muntaha. Itulah lapisan langit yang tertinggi, yang ketujuh. Rasulullah sudah sampai disana, dan melihat surga sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini.
QS. An Najm (53): 14-15
Di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal...

Di ayat lain, Allah juga menceritakan bahwa besarnya surga adalah seluas langit dan bumi. Langit dan bumi yang mana? Tentu saja yang tujuh lapis, karena alam akhirat memang terletak di langit yang tertinggi yang meliputi seluruh langit lainnya. Sehingga, dalam ayat berikut ini Allah menggunakan istilah samawatu (jamak) bukan sama’u (tunggal) dalam menyebut langit.

QS. Ali Imran (3): 133
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit (samawatu) dan bumi (ardhu) yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.

6. Maka, secara umum bisa disimpulkan bahwa langit berlapis tujuh itu terdiri dari langit dunia di bagian yang paling kecil, dan langit akhirat di bagian yang paling besar. Dengan kata lain, ’dunia’ ini berada di dalam ’akhirat’. Alias, dunia ini adalah ’bagian’ dari akhirat. Alam semesta sebenarnya adalah satu paket, terdiri dari dunia s/d akhirat, dalam bentuk alam paralel yang berjenjang semakin luas.
7. Jadi, secara ruangan, alam akhirat sudah ada bersamaan dengan alam dunia. Akan tetapi secara waktu, akhirat baru ditampakkan kelak saat alam semesta mengalami kiamat pertama. Atau yang kita kenal sebagai kiamat sughra, kiamat kecil. Yakni seiring dengan mengerutnya alam semesta.
QS. Qaaf (50): 22
... maka Kami singkapkan darimu tabir (yang menutupi) pandanganmu, maka penglihatanmu pada hari itu (kiamat) amatlah tajam.

QS. Ath Taariq (86): 9
Pada hari ditampakkan segala rahasia

QS. Az Zumar (39): 69
Dan terang benderanglah bumi dengan cahaya Tuhannya; dan diberikanlah buku (catatan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan.

8. Ada yang mempertanyakan: kenapa saya berpendapat alam semesta bakal mengerut dan hancur di tempat penciptaannya semula? Padahal ada kemungkinan lain, misalnya alam semesta ini mengembang terus sehingga mendingin dan lenyap atau musnah karenanya.
Jika kita mengkaji teori Big Bang, maka akan kita dapati bahwa alam semesta ini terbentuk dari lontaran material dan energi dari pusat alam semesta, sekitar 14 miliar tahun yang lalu. Untuk memahami perilaku benda langit yang terlontar dalam ledakan besar itu, kita bisa menganalogikan dengan batu yang dilemparkan ke angkasa. Jika Anda melempar sebuah batu ke angkasa, akan ada tiga kemungkinan yang bakal terjadi pada batu itu.

Yang pertama, jika tenaga lemparannya sangat kuat sehingga mengalahkan gaya gravitasi bumi, batu tersebut bakal lepas dari bumi dan lenyap ke luar angkasa. Yang kedua, jika kekuatan lemparannya seimbang dengan gaya gravitasi bumi, maka batu tersebut akan berhenti di suatu ketinggian di angkasa sana. Tidak lenyap ke langit, dan tidak jatuh ke bumi. Yang ketiga, jika gaya lempar batu itu lebih kecil dibandingkan dengan gravitasi bumi. Maka, batu yang dilemparkan ke angkasa itu akan melambat, kemudian berhenti di angkasa, lantas bergerak jatuh lagi ke permukaan bumi.

Nah, saya memang memilih kemungkinan yang ketiga. Kenapa? Ada dua alasannya. Yang pertama, secara ilmiah kini semakin banyak ditemukan dark matter di kedalaman alam semesta. Diketemukannya materi gelap ini, akan membawa konsekuensi semakin besarnya ’bobot materi’ yang ada di pusat alam semesta. Yang suatu ketika, bakal menunjukkan fakta bahwa jumlah materi alam semesta itu ternyata menghasilkan gaya gravitasi yang sedikit lebih besar dari gaya ledakan saat pertama kali.

Ibarat sebuah balon udara yang sedang ditiup, maka kekuatan mengembang alam semesta ini suatu saat akan berhenti, dan kemudian kempis lagi. Atau dalam analogi batu yang terlempar diatas, bebatuan yang terlontar ke segala penjuru alam semesta itu akan melambat, berhenti, dan kemudian jatuh lagi ke pusat alam semesta.

Alasan yang kedua, saya dapatkan dari dalam al Qur’an. Ternyata Allah mengatakan bahwa langit yang sedang mengembang ini tidak akan lenyap tanpa batas, melainkan bakal mengerut kembali. Digulung seperti lembaran-lembaran kertas, kembali ke posisi semula dimana ia pernah digelar saat penciptaan.

QS. Faathir (35): 41
Sesungguhnya Allah menahan langit (samawati) dan bumi supaya tidak lenyap; dan sungguh jika keduanya lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

QS. Al Anbiyaa’ (21): 104
(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama kali, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.

9. Kalau begitu, apakah alam semesta tidak bertambah sempit karenanya? Sehingga surga dan neraka pun menjadi sempit pula? Memang iya, tetapi penyempitan alam semesta dimana surga dan neraka ada di dalamnya itu tidak akan terasa, dikarenakan proses transient saat keruntuhannya, sebagaimana pula saat penciptaannya.
Ada baiknya kita melihat analogi berikut ini. Ada dua batang besi magnet yang secara perlahan-lahan didekatkan pada kutub-kutub yang tidak senama, sehingga muncul gaya tarik menarik. Maka, secara perlahan-lahan kedua besi tersebut akan mendekat karena gaya tarik yang relatif masih linear. Tetapi, pada jarak tertentu yang sudah cukup dekat, kedua batang besi magnet itu tiba-tiba melekat dengan kecepatan berlipat kali, sehingga mengagetkan kita sendiri: blaakk..! Inilah yang disebut sebagai transient.

Saat pertama kali alam diciptakan oleh Allah, ledakannya akan terjadi secara transient, yakni mengembang dengan cepat akibat gaya lontar yang luar biasa besarnya. Itu terjadi hanya dalam orde detik atau menit saja. Setelah itu, alam semesta akan mengembang relatif lebih linear dan ’perlahan-lahan’. Sehingga bermiliar-miliar tahun pun rasanya alam semesta ini ya begini-gini saja. Seperti tidak ada perubahan.

Sebaliknya, pada saat mengerut kelak, alam semesta juga akan mengecil secara ’relatif linear’ dalam jangka waktu yang sangat lama, milyaran tahun. Dan bakal mengalami transient saat kehancurannya. Hanya dalam orde detik atau menit saja: runtuh dan lenyap dengan cepat..! Mirip dengan dua batang magnet yang melekat secara cepat ketika dalam posisi dekat. Itulah saat berakhirnya alam semesta menuju pada ketiadaan.

Maka, apakah kesimpulan yang bisa kita peroleh dari paparan yang serba singkat ini? Saya cuma ingin mengatakan, bahwa kehidupan kita di dunia ini sebenarnya sudah sekaligus berada di akhirat..!

Dengan demikian, seluruh perbuatan kita yang bersifat ’duniawi’, sesungguhnya pula sudah bersifat ukhrawi alias keakhiratan. Setiap amalan yang kita kerjakan, telah berdampak secara paralel, di alam dunia dan alam akhirat. Berbuat baik, tercatat di dunia dan akhirat. Berbuat jahat, juga berdampak langsung pada dunia dan akhirat.

Bedanya, yang dunia akan menghasilkan balasan sekarang di dunia. Sedangkan yang akhirat menghasilkan balasan tertunda setelah hari kiamat. Karena itu berhati-hatilah...!

QS. Al Baqarah (2): 281
Dan peliharalah dirimu dari hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dirugikan.


Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

PENTING MANA DUNIA ataukah AKHIRAT (1)

 by: Agus Mustofa

                   ~ PILIHAN YANG ’MASIH’ MEMBINGUNGKAN ~


Ketika dipertanyakan: lebih penting mana DUNIA ataukah AKHIRAT? Jawaban yang muncul ternyata sangat beragam. Ada yang menjawab penting dunia. Ada yang memilih akhirat. Ada yang menyebut dunia dan akhirat. Ada yang mengatakan tidak penting dua-duanya. Atau, ada pula yang tidak berani menjawab, karena (masih) bingung.

Masalah klasik ini menjadi perlu kita angkat kembali, karena ternyata masih banyak yang rancu tentang ’kepentingannya’ dalam peta kehidupan. Meskipun, sebenarnya di dalam al Qur’an cukup gamblang pemetaannya. Kerancuan seringkali muncul disebabkan oleh pemahaman ayat yang kurang holistik.

Yakni, mendasarkan kepahaman hanya pada beberapa ayat. Padahal jumlah ayat tentang akhirat ini ada ratusan. Dalam buku serial ke-2: ’Ternyata Akhirat Tidak Kekal’ saja, saya mengutip tidak kurang dari 200 ayat. Itu pun masih banyak ayat yang tidak saya kutip dikarenakan isi dan redaksinya mirip.

Al Qur’an menempatkan akhirat demikian penting, sehingga jumlah ayat yang bercerita tentangnya berjumlah ratusan. Dan diulang-ulang dengan redaksi yang berbeda-beda terkait dengan obyek yang sedang dibahas. Kadang, akhirat dibahas terkait dengan kehidupan rumah tangga. Di waktu lain, akhirat dikaitkan dengan bisnis. Di ayat lainnya, akhirat dengan kekuasaan. Lainnya lagi, dihubungkan dengan akhlak, ibadah, peperangan, dan berbagai masalah kemasyarakatan sehari-hari.

Di berbagai ayat itu, Allah selalu menempatkan Akhirat sebagai tujuan dari berbagai aktivitas keduniawiaan kita, tanpa memisahkan keduanya. Kehidupan dunia ditempatkan sebagai awal proses, sedangkan kehidupan akhirat ditempatkan di akhir proses. Lantas, Allah memberi penegasan bahwa ’akhir’ adalah lebih baik dari pada ’awal’.

QS. Ad Dhuha (93): 4
dan sesungguhnya akhir (akhirat) itu lebih baik bagimu daripada permulaan (dunia).

Dalam berbagai ayat itu pula, Allah mengajari kita untuk ’menyadari’ bahwa hidup tidak berakhir di dunia. Karena, sebenarnya ’kematian’ bukanlah akhir dari segala-galanya, melainkan cuma ’rusaknya badan’. Sedangkan jiwa kita masih hidup. Dan kelak, akan dibangkitkan kembali seiring dengan kembalinya jiwa ke dalam badan di hari kebangkitan, untuk memasuki hari-hari akhirat.

Kesadaran akan pentingnya akhirat ini diulang-ulang dalam banyak ayat, sekaligus diberikan perbandingkan tentang ’kurang pentingnya’ kehidupan dunia. Sehingga, dalam sejumlah ayat Allah menyebut kehidupan dunia adalah kehidupan yang menipu. Yang sebentar. Yang remeh temeh, dan main-main belaka. Baru ’awal’ dari sebuah perjalanan hidup yang sangat panjang, yang sangat misterius dan belum banyak kita ketahui.

QS. Al An’aam (6): 32
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?

QS. Al Ankabuut (29): 64
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.

Allah memberikan stressing tentang pentingnya akhirat, agar kita memperhatikannya. Karena, ternyata banyak yang tertipu alias terjebak oleh gemerlap dunia. Justru disinilah memang ’permainannya’. Ini adalah sebuah game melintasi ’labirin’ yang bisa menjebak kita untuk tidak menemukan pintu keluar di akhir rute yang harus kita tempuh.

Kenapa al Qur’an menyebut kehidupan dunia dengan sebutan ’remeh temeh’ seperti itu? Apakah memang tidak penting? Oh, tentu saja penting. Tetapi, agaknya kalah penting dengan akhirat. Karena ternyata, kehidupan dunia ini memang benar-benar remeh dan lucu. Isi kehidupan kita benar-benar cuma permainan, bermegah-megahan, berbangga-banggaan tentang harta dan anak. Setelah itu, kita menua dimakan usia, dan mati..! Kecuali orang-orang yang 'mengerti'.

Ini benar-benar kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Mulai pagi hari sampai tidur kembali di malam hari, kita cuma bermain-main saja. Bermain-main di rumah, di tempat kerja, di jalanan, di warung-warung makan, di rumah kawan-kawan, dan dimana pun kita beraktifitas. Dan lucunya, setiap kita bertemu dengan kawan, yang kita omongkan kurang lebih begini:

’’Hei, apa kabar? Kerja dimana kamu sekarang? Wah, tambah sukses ya? Mobilmu baru ganti ya? Eh, dengar-dengar rumahmu baru pindah di kawasan elit? O ya, sudah berapa anakmu? Sudah mau punya cucu ya..?!

Dan seterusnya. Dan sebagainya. Ternyata, hidup kita isinya cuma gitu-gitu aja. Persis seperti digambarkan Allah dalam ayat berikut ini.

QS. Al Hadiid (57): 20
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya HARTA dan ANAK, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (kelak) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Oh, berpuluh tahun kita bekerja ’membanting tulang’ dan membina rumah tangga sampai beranak cucu, tujuannya ternyata hanya untuk berbangga-bangga tentang itu semua. Dan, celakanya, tak berapa lama kemudian kita ’mati’ meninggalkan semuanya. Lantas memasuki ’kehidupan baru’ yang kita sama sekali tidak mengerti tentangnya. Sendirian pula..!

Oh, jangan..! Jangan sampai tertipu, wahai sahabatku. Hidup tidak berhenti dengan kematian. Melainkan berlanjut sampai berakhirnya alam semesta. Tidakkah engkau ingin mempersiapkan segala sesuatunya? Dunia ini kita jalani hanya puluhan tahun, sementara kehidupan sesudahnya akan kita alami milyaran tahun.

Sekarang saja, usia alam semesta sudah hampir 14 milyar tahun. Kalau ternyata benar, alam semesta bakal mengerut 1 milyar tahun lagi, maka proses mengerut alam semesta ini akan memakan waktu 15 milyar tahun. Kurang lebih sama dengan waktu mengembangnya. Dan, kelak akan lenyap kembali, sebagaimana proses kemunculannya: dari ’tiada’ bakal kembali kepada ’tiada’. Artinya, kehidupan akhirat bakal berlangsung belasan milyar tahun, seumur alam semesta yang sedang mengerut.

Maka, penting manakah Dunia dan Akhirat? Ah, jawabannya sih terserah Anda saja. Tetapi, kalau Anda membaca ayat berikut ini, ternyata Allah mengajari kita untuk lebih mementingkan akhirat. Yang harus kita cari dan dijadikan ’tujuan’ dalam hidup ini adalah kebahagiaan AKHIRAT. Sedangkan kebahagiaan DUNIA, ternyata grade-nya hanya sekedar JANGAN DILUPAKAN..!

QS. Al Qashash (28): 77
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu di dunia...


Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

MERAIH TAKDIR TERBAIK (1)

   

by: Agus Mustofa

                 
             ~ MENGURAI KEBINGUNGAN SOAL TAKDIR ~



Kontroversi soal takdir tidak bisa dilepaskan dari masih rancunya definisi istilah TAKDIR itu sendiri. Ada yang mendefisinisikan ’takdir’ sebagai ketetapan Allah yang final sejak awal dan tak bisa diubah. Tapi, ada pula yang mendefinisikannya sebagai 'ketetapan' yang masih bisa berubah. Tentu saja, keduanya membawa konsekuensi yang sangat berbeda, bahkan berlawanan.

Istilah takdir berasal dari kata Qaddara - Yuqaddiru yang bermakna menetapkan atau menakdirkan. Yang pertama adalah fi’il madzi (past tense) alias kata kerja lampau, terkait dengan ketetapan yang ’sudah terjadi’. Sedangkan yang kedua adalah fi’il mudhari’ (present tense) yang bermakna ketetapan yang ’sedang & akan terjadi’. Memahami makna ’takdir’ secara gramatika bisa membantu mengurai kerancuan tersebut.

QS. Al Furqaan (25): 2
yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia telah menetapkan (qaddara) ukuran-ukurannya dengan ketetapan sedetil-detilnya (taqdiran).

Dalam ayat diatas, Allah menggunakan kata qaddara – telah menetapkan – ukuran-ukuran segala ciptaannya dengan detil (takdir). Setidak-tidaknya ada dua makna yang terkandung di dalamnya. Yang pertama, setiap makhluk ciptaan Allah itu selalu diiringi dengan spesifikasi yang detil. Dan yang kedua, penetapan itu sudah diberikan Allah sejak saat penciptaannya. Istilah qadar dalam bahasa Indonesia berimpit dengan ’kadar’ alias ukuran dan kapasitas.

Diantara contohnya adalah tentang air yang ada di bumi. Di masa awal penciptaan bumi Allah menurunkan air ke planet biru ini dari luar angkasa berupa gumpalan-gumpalan es dalam ukuran besar. Jumlahnya sudah diukur, tidak lebih dan tidak kurang. Sirkulasinya setelah sampai di Bumi juga sudah ditentukan, lewat penguapan dan mekanisme hujan. Sehingga, air itu lantas tetap berada di planet Bumi dalam kadar yang cukup untuk kehidupan penghuninya hingga kini. Allah telah menetapkan kadarnya. Takdirnya.

QS. Al Mukminuun (23): 18
Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran (qadar); lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa untuk menghilangkannya.

Bukan hanya air, Dia juga menetapkan ukuran siang dan malam terkait dengan kecepatan rotasi Bumi. Semua itu ditakdirkan Allah sesuai dengan desain terbaik. Sehingga terjadilah ukuran siang dan malam seperti yang terjadi selama ini. Tanpa campur tangan manusia. Bahkan manusia dijamin tidak bisa ikut campur di dalamnya.

QS. Muzzammil (73): 20
... Dan Allah menetapkan (yuqaddiru) ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, ...

Yang menarik, dalam ayat di atas Allah menggunakan fi’il mudhari’ (present tense) untuk menjelaskan kadar siang dan malam. Ini menunjukkan, bahwa takdir tentang ukuran siang dan malam itu akan terjadi secara berkelanjutan ke masa depan. Dengan kata lain, panjangnya siang dan malam boleh jadi masih bisa bergeser seiring dengan bertambahnya waktu alam semesta.

Dan seterusnya. Kalau kita cermati, maka Allah menetapkan Takdir segala ciptaan-Nya dalam bentuk kapasitas, ukuran, dan mekanisme alamiah, sejak masa awal  penciptaan sampai berlanjut ke masa depan.

QS. Al Hijr (15): 21
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran (qadar) yang tertentu.

Seiring dengan ketetapan yang bersifat Qadar itu, Allah juga membuat ketetapan yang bersifat Qadla. Apakah Qadla? Juga bermakna ketetapan Allah, tetapi yang kita masih bisa ikut campur di dalam prosesnya. Dengan kata lain, inilah Takdir Allah yang bisa kita ikhtiari. Karena itu, dalam sejumlah ayat, Allah menggunakan istilah Qadla terkait dengan proses penciptaan yang masih terus berlangsung.

QS. Ali Imran (3): 47
... Apabila Allah berkehendak menetapkan (qadla) sesuatu, maka Allah cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia (kun fayakun).

Ayat diatas mengaitkan Qadla dengan kun fa yakun. Yakni kalimat penciptaan yang bermakna: ’jadi, maka jadilah’ segala ciptaan-Nya. Secara bahasa, kalimat fa yakun adalah masuk dalam fi’il mudhari’ alias present tense. Kalimat semacam ini diulang-ulang dalam banyak ayat, hubungan antara Qadla dengan kun fa yakun.

Artinya, proses penciptaan itu bukan berlangsung di masa lalu saja, melainkan masih terus berlangsung ke masa depan. Sehingga, takdir Allah lewat Qadla adalah takdir yang masih berlangsung alias belum final. Masih memiliki peluang untuk menjadi apa saja, seiring dengan hukum-hukum Allah yang ditetapkan lewat Qadar di awal penciptaan.

Diantaranya, adalah takdir kematian. Allah menggunakan kata Qadla dalam menentukan kematian seseorang. Misalnya nabi Sulaiman di ayat berikut ini. Bahwa takdir kematian itu sebenarnya bukan ditetapkan di awal, saat penciptaan, melainkan berjalan seiring dengan proses kehidupan seseorang. Yang ditetapkan pada saat penciptaan di dalam rahim adalah Qadar alias kapasitas dan ukuran-ukurannya saja.

Misalnya, tulangnya didesain Allah bisa bertahan 70 tahun. Demikian pula organ-organ dalamnya seperti jantung, ginjal, paru, dan livernya. Jika orang yang bersangkutan bisa memenejemeni hidupnya dengan baik sehingga sehat, maka ia akan mati dalam usia 70 tahun, sesuai dengan desain ciptaannya. Sesuai dengan Qadar yang Allah tetapkan. Tetapi jika ia menjalani hidupnya secara amburadul, maka sangat boleh jadi ia bakal mati di usia yang lebih muda. Apalagi jika bunuh diri, ia bisa benar-benar mati karenanya..! Allah memberikan Qadla kematian seiring dengan proses.

QS. Saba’ (34): 14
Maka tatkala Kami telah menetapkan (qadla) kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.

Dalam ayat berikut ini, Allah menjelaskan lebih detil, bahwa keputusan Allah tentang umur seorang manusia itu terjadi dua kali. Yang pertama adalah di dalam rahim saat tahap desain. Allah memrosesnya sesuai dengan kadar penciptaan seperti saya jelaskan di atas. Lantas, yang kedua, adalah di luar rahim, saat ia sudah menjalani hidupnya. Karena, boleh jadi, meskipun desain tubuhnya bisa bertahan 70 tahun, tetapi jika ia adalah orang yang sembrono dalam menjalani hidup sehingga ’layak’ untuk mati muda, maka Allah pun akan mematikan dia.

QS. Al Hajj (22): 5
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang hari kebangkitan, maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan (9 bulan), kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian kamu sampai pada masa kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya...

Maka, ringkas kata, Takdir adalah ketetapan Allah yang berjalan sejak saat-saat awal penciptaan sampai kelak berakhirnya peristiwa tersebut. Yang awal disebut Qadar, ditetapkan Allah tanpa campur tangan makhluk yang bersangkutan, dalam bentuk kapasitas. Sedangkan yang kedua adalah Qadla, yang ditetapkan Allah seiring dengan proses, dengan mempertimbangkan segala variabel yang memengaruhinya, termasuk usaha yang dilakukan oleh mereka yang menjalaninya..!


Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~